Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI untuk periode 2019-2024, Putu Supadma Rudana, berpendapat bahwa sistem pendidikan di Indonesia saat ini perlu kembali merujuk pada ajaran Ki Hajar Dewantara. "Pendidikan memiliki peranan penting dari sudut pandang ilmiah, namun pendidikan juga harus mencakup kecerdasan emosional dan spiritual. Oleh karena itu, kita perlu merujuk kepada Ki Hajar Dewantara. Sejak lama, Tamansiswa telah mengajarkan bahwa kecerdasan tidak hanya terbatas pada aspek intelektual, tetapi juga mencakup aspek spiritual dan emosional," ungkap Putu dalam pernyataan resmi di Jakarta pada hari Kamis. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Putu dalam kuliah umum bertema “Bedah Budaya Nusantara” di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta pada hari Sabtu (28/9). Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI) ini juga menekankan pentingnya meneladani pemikiran besar Ki Hajar Dewantara, yang mendirikan Tamansiswa pada tahun 1922 sebagai lembaga yang memberikan pendidikan berkebudayaan secara menyeluruh kepada masyarakat. Afirmasi yang disampaikan sangat jelas, bahwa dalam dunia pendidikan tidak boleh ada perbedaan kasta, semua individu harus memperoleh hak yang setara. Pendidikan merupakan hak asasi manusia yang wajib dipenuhi oleh negara, dan tidak hanya berfokus pada pencapaian angka, tetapi juga harus mampu membentuk karakter secara menyeluruh, ujar Putu. Sehubungan dengan itu, Putu menekankan pentingnya untuk meninjau kembali pemikiran Ki Hajar Dewantara, yang memiliki visi untuk mengembangkan peserta didik menjadi individu yang berkembang secara holistik, mencakup aspek intelektual, emosional, spiritual, dan fisik melalui proses pembelajaran yang berlangsung dalam suasana yang terbuka, bebas, dan menyenangkan. “Ki Hajar Dewantara juga menekankan bahwa pendidik harus berakar pada nilai-nilai budaya, agar peserta didik dapat memahami dan menghargai warisan budaya bangsa. Hal ini dapat meningkatkan rasa identitas dan kebanggaan, serta memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-nilai lokal,” tambahnya. Putu juga mengajak semua pendidik dan peserta didik untuk tidak hanya mengunjungi museum, tetapi juga mempelajari kebudayaan, karena menurutnya, museum berfungsi sebagai sekolah, dan kebudayaan akan tetap hidup jika suatu bangsa memahami dan menghargainya. “Kearifan lokal dan kebijaksanaan yang kita miliki sangat relevan dengan konteks internasional saat ini, yang dikenal sebagai dari kearifan lokal menuju aksi global,” jelasnya. Putu berharap gagasan besar Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan dapat diangkat menjadi semangat multilateralisme yang mendunia. Ia juga mendorong agar gagasan universal tersebut dapat disampaikan di forum tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “Mereka perlu mengetahui sosok Ki Hajar Dewantara yang seharusnya mendapatkan penghargaan Nobel, ini adalah tanggung jawab kita. Kita belum pernah meraih penghargaan Nobel, sementara bangsa lain sudah banyak yang mendapatkannya,” tutupnya.